PK Sejarah Indonesia XI - Semester 1 - Perang Melawan Kolonialisme dan Imperialisme - Perang Melawan Penjajahan Belanda - Bagian 1

PK Sejarah Indonesia XI - Semester 1 - Perang Melawan Kolonialisme dan Imperialisme - Perang Melawan Penjajahan Belanda - Bagian 1

Sejarah Indonesia SMA/MA

Kelas XI Semester I





BAB 2
Perang Melawan Kolonialisme dan Imperialisme


Pendalam Materi


B. Perang Melawan Penjajahan Belanda


Rakyat Aceh bersama para pemimpinnya, baik tuanku maupun tengku mampu bertahan dan membuat tentara Belanda kewalahan karena rakyat Aceh memiliki motivasi yang bersifat spiritual, yakni sebuah keyakinan Islam. Rakyat Aceh yakin bahwa perang yang mereka kobarkan adalah perang melawan kafir. Perjuangan melawan kekejaman penjajahan pemerintah Belanda juga terjadi di berbagai daerah. Bagaimana perlawanan dan perang yang terjadi di berbagai daerah dalam melawan penjajahan pemerintah kolonial Belanda itu? Pelajari dan telaah uraian-uraian berikut.



1. Perang Tindano


a) Perang Tondano I (1808)


Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tondano terjadi dalam dua tahap Perang Tondano terjadi pada masa kekuasaan VOC Pada saat datangnya bangsa Barat, orang-orang Spanyol sudah sampai di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara. Orang-orang Spanyol selain berdagang juga menyebarkan agama Kristen Tokoh yang berjasa dalam penyebaran agama Kristen di tanah Minahasa adalah Fransiscus Xaverius Hubungan dagang orang Minahasa dan Spanyol terus berkembang. Tetapi mula abad XVII hubungan dagang antara keduanya mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang VOC. Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. Bahkan, Gubernur Terante Simon Cos mendapatkan kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari pengaruh Spanyol. Simon Cos kemudian menempatkan kapalnya di Selat Lembeh untuk mengawasi pantai timur Minahasa. Para pedagang Spanyol dan juga Makassar yang bebas berdagang mulai tersingkir karena ulah VOC. Apalagi waktu itu Spanyol harus meninggalkan Kepulauan Indonesia untuk menuju Filipina.


VOC berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang Minahasa menjual berasnya kepada VOC. Hal ini karena VOC sangat membutuhkan beras untuk melakukan monopoli perdagangan beras di Sulawes Utara Orang orang Minahasa menentang usaha monopoli tersebut Tidak ada pihan lain bagi VOC kecuali memerangi orang-orang Minahasa Untuk melemahkan orang- orang Minahasa, VOC membendung Sungai Temberan. Akibatnya aliran sungai meluap dan menggenang termpat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa. Orang-orang Minahasa kemudian memindahkan tempat tinggalnya di Danau Tondano dengan rumah-rumah apung. Pasukan VOC kemudian mengepung kekuatan orang-orang Minahasa yang berpusat di Danau Tondano. Simon Cos kemudian memberikan ultimatum yang isinya antara lain (1) Orang-orang Tondano harus menyerahkan para tokoh pemberontak kepada VOC, (2) orang-orang Tondano harus membayar ganti rugi dengan menyerahkan 50-60 budak sebagai ganti rugi rusaknya tanaman padi karena genangan air Sungai Temberan. Ternyata rakyat Tondano bergeming dengan ultimatum VOC tersebut. Simon Cos sangat kesal karena ultimatuminya tidak diperhatikan Pasukan VOC akhirnya ditarik mundur ke Manado. Setelah itu rakyat Tondano menghadapi masalah dengan hasil pertanian yang menumpuk, tetapi tidak ada yang membeli Dengan terpaksa mereka kemudian mendekati VOC agar membeli hasil hasil pertaniannya. Dengan demikian, terbukalah tanah Minahasa oleh VOC. Berakhirlah Perang Tondano 1. Orang-orang Minahasa kemudian memindahkan perkampungannya di Danau Tondano ke perkampungan baru di daratan yang diberi nama Minawanua (bu negeri).


b) Perang Tondano II (1809)


Perang Tondano Il sebenarnya sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19. yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels yang mendapat mandat untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerlukan pasukan dalam jumlah besar, Untuk menambah jumlah pasukan, maka direkrut pasukan dan kalangan pribumi. Mereka yang dipilih adalah dari suku suku yang memiliki keberanian berperang. Beberapa suku yang dianggap memiliki keberanian adalah orang-orang Madura, Dayak, dan Minahasa. Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung.


(Ukung adalah pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat distrik) Belanda menargetkan 2000 pasukan Minahasa yang akan dikirim ke Jawa Ternyata orang orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Daendels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonul Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah Mereka justru ingin mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda Mereka memusatkan aktivitas perjuangannya di Tondano, Minawanua Salah seorang pemimpin perlawanan itu adalah ukung Lonto la menegaskan rakyat Minahasa harus melawan kolonial Belanda sebagai bentuk penolakan terhadap program pengiriman 2.000 pemuda Minahasa ke Jawa serta menolak kebijakan kolonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada Belanda.


Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Residen Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang orang Minahasa di Tondano Minawanua Belanda kembali menerapkan strategi dengan membendung Sungai Temberan Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh Satu pasukan dipersiapkan untuk menyerang dart Danau Tondano, sedangkan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat: Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar. Pasukan Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua Walaupun sudah malam para pejuang tetap dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dan rumah ke rumah Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dan darat membombardir kampung pertahanan Minawanua Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan.


Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak Belanda. Pasokan Belanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri Dan jarak jauh Belanda terus menghujani menam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan yang dan danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang Tondano, Minawanua Bahkan terdengar berita kapal Belanda yang paling besar tenggelam di danau.


Perang Tondano I| berlangsung cukup lama, bahkan sampai Agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan, mulai ada kelompok pejuang yang memihak kepada Belanda. Namun dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankannya. Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah kepada penjajah.



2. Perang Pattimura (1817)


Maluku dengan hasil rempah-rempahnya dibaratkan bagaikan mutiara dari timur". Kekayaan yang dibaratkan bagaikan mutiara dari timur itu. senantiasa diburu oleh orang-orang Eropa. Namun tidak hanya memburu kekayaan, orang-orang Eropa juga ingin berkuasa dan melakukan monopoli perdagangan. Kekuasaan orang-orang Eropa itu telah merusak tata ekonomi dan pola perdagangan bebas yang telah lama berkembang di Nusantara Pada masa pemerintahan Inggris di bawah Raffies keadaan Maluku relatif lebih tenang karena Inggris bersedia membayar hasil bumi rakyat Maluku Kegiatan kerja rodi mulai dikurangi. Bahkan para pemuda Maluku juga diberi kesempatan untuk bekerja pada dinas angkatan perang Inggris. Tetapi pada masa pernerintahan kolonial Hindia Belanda, keadaan kembali berubah Kegiatan monopoli di Maluku kembali diperketat. Dengan demikian, beban rakyat semakin berat. Sebab selain penyerahan wajib, masih juga harus dikenal kewajiban kerja paksa, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi. Kalau ada penduduk yang melanggar akan ditindak tegas, Ditambah lagi terdengar desas desus bahwa para guru akan diberhentikan untuk penghematan sementara itu para pemuda akan dikumpulkan untuk dijadikan tentara di luar Maluku. Desas-desus ini membuat situasi semakin panas, ditambah lagi dengan sikap arogan dan sikap sewenang-wenang dan Residen Saparua. Suatu ketika Belanda memesan perahu orambai kepada nelayan Setelah selesai perahu diserahkan kepada Belanda. Tetapi Belanda tidak mau membayar perahu itu dengan harga yang pantas. Mereka menuntut agar pemerintah bersedia membayar perahu orambai yang dipesan oleh pemerintah Belanda dengan harga yang pantas. Bahkan perahu orambai yang diserahkan kepada pemerintah Belanda tidak pernah dibayar Padahal orang-orang Maluku sudah berperan menyediakan ikan asin untuk kapal. kapal Belanda di Maluku, Belanda sama sekal tidak menghargai jasa orang orang Maluku. Oleh karena itu, para pembuat perahu mengancam akan mogok jika tidak dibayar Residen Saparua Van den Berg menolak tuntutan rakyat itu. Kejadian itu menyebabkan keberican rakyat Maluku semakin menjadi-jadi.


Menanggapi kondisi yang demikian para tokoh dan pemuda Maluku melakukan serangkaian pertemuan rahasia. Sebagai contoh telah diadakan pertemuan rahasia di Pulau Haruku, pulau yang dihuni orang-orang Islam. Selanjutnya pada tanggal 14 Mei 1817 di Pulau Saparua (pulau yang dihuni orang-orang Kristen) kembali diadakan pertemuan di sebuah tempat yang sering disebut dengan Hutan disimpulkan bahwa rakyat Maluku tidak ingin terus menderita di bawah keserakahan dan kekejaman Belanda. Oleh karena itu, mereka perlu mengadakan perlawanan untuk menentang kebijakan Belanda. Thomas Matulessy yang kemudian terkenal dengan gelarnya Pattimura dipercaya sebagai pemimpin. Pengalamannya bekerja di dinas angkatan perang Inggris diyakini dapat menguntungkan rakyat Maluku.


Gerakan perlawanan dimulai dengan menghancurkan kapal-kapal Belanda di pelabuhan. Para pejuang Maluku kemudian menuju Benteng Duurstede Ternyata di benteng itu sudah berkumpul pasukan Belanda. Dengan demikian terjadilah pertempuran antara para pejuang Maluku melawan pasukan Belanda. Dalam perang itu pasukan Belanda dipimpin oleh Residen van den Berg. Sementara dari pihak para pejuang dipimpin oleh para tokoh lain seperti Christina Martha Tiahahu, Thomas Pattiwwail, dan Lucas Latumahina.


Para pejuang Maluku dengan sekuat tenaga mengepung Benteng Duurstede dan tidak begitu menghiraukan tembakan-tembakan meriam yang dimuntahkan oleh serdadu Belanda dari dalam benteng. Sementara itu senjata para pejuang Maluku masih sederhana seperti pedang dan keris Dalam waktu yang hampir bersamaan para uang Maluku satu dapat memanjat dan masuk ke dalam benteng. Residen dapat dibunuh dan Benteng Duurstede dapat dikuasai oleh para pejuang Maluku. Jatuhnya Benteng Duurstede telah menambah semangat juang para pemuda Maluku untuk terus berjuang melawan Belanda.


Belanda kemudian mendatangkan bantuan dari Ambon. Datanglah 300 prajurit yang dipimpin oleh Mayor Beetjes. Pasukan ini dikawal oleh dua kapal perang yakni Kapal Nassau dan Evertsen. Namun bantuan ini dapat digagalkan oleh pasukan Pattimura, bahkan Mayor Beetjes terbunuh. Kemenangan ini semakin menggelorakan perjuangan para pejuang di berbagai tempat seperti di Seram, Hitu, Haruku, dan Larike. Selanjutnya Pattimura memusatkan perhatian untuk menyerang Benteng Zeelandia di Pulau Haruku. Melihat gelagat itu maka pasukan Belanda memperkuat pertahanan benteng di bawah komandannya Groot Patroli juga terus diperketat. Oleh karena itu, Pattimura gagal menembus Benteng Zeelandia.


Upaya perundingan mulai ditawarkan, tetapi tidak ada kesepakatan Akhirnya Belanda mengerahkan semua kekuatannya termasuk bantuan dan Batavia untuk merebut kembali Benteng Duurstede. Bulan Agustus 1817 Saparua diblokade, Benteng Duurstede dikepung disertai tembakan meriam yang bertubi-tubi Satu persatu perlawanan di luar benteng dapat dipatahkan: Daerah di kepulauan itu jatuh kembali ke tangan Belanda Dalam kondisi yang demikian itu Pattimura memerintahkan pasukannya untuk meloloskan diri dan meninggalkan tempat pertahanannya. Dengan demikian, Benteng Duurstede berhasil dikuasai Belanda kembali Pattimura dan pengikutnya terus melawan dengan gerilya Tetapi pada bulan November beberapa pembantu Pattimura tertangkap seperti Kapitan Paulus Tiahahu (ayah Christina Martha Tiahahu) yang kemudian dijatuhi hukuman mati. Mendengar peristiwa ini Christina Martha Tiahahu marah dan segera pergi ke hutan untuk bergetilya.


Belanda tidak akan puas sebelum dapat menangkap Pattimura. Bahkan, Belanda mengumumkan kepada siapa saja yang dapat menangkap Pattimura akan diberi hadiah 1.000 gulden. Setelah enam bulan memimpin perlawanan, akhirnya Pattimura tertangkap. Pada tanggal 16 Desember 1817 Pattimura dihukum gantung di alun-alun Kota Ambon. Christina Martha Tiahahu yang berusaha melanjutkan perang gerilya akhirnya juga tertangkap. la tidak dihukum mati tetapi bersama 39 orang lainnya dibuang ke Jawa sebagai pekerja rodi Dikisahkan bahwa di dalam kapal Christina Martha Tiahahu mogok tidak mau makan dan tidak mau buka mulut, la jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada tanggal 2 Januari 1818. Jenazahnya dibuang ke laut antara Pulau Buru dan Pulau Tiga. Dengan demikian, berakhirlah perlawanan Pattimura.



3. Perang Padri


Perang Padri terjadi di tanah Minangkabau, Sumatera Barat pada tahun 1821-1837 Perang ini digerakkan oleh para pembaru Islam Mengapa dan bagaimana Perang Padr itu terjadi?


Perang Padri sebenarnya merupakan perlawanan kaum Padi terhadap dominasi pemerintahan Hindia Belanda di Sumatera Barat Perang ini bermula adanya pertentangan antara kaum Padri dengan kaum Adat dalam masalah praktik keagamaan Pertentangan itu dimanfaatkan sebagai pintu masuk bagi Belanda untuk campur tangan dalam urusan Minangkabau Perlu dipahami sekalipun masyarakat Minangkabau sudah memeluk agama Islam tetapi sebagian masyarakat masih memegang teguh adat dan kebiasaan yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ajaran Islam.


Pada akhir abad ke-18 telah datang seorang ulama dan kampung Kata Tua di daratan Agam. Karena berasal dari kampung Kota Tua maka ulama itu terkenal dengan nama Tuanku Kota Tua Tuanku Kota Tua ini mulai mengajarkan pembaruan-pembaruan dan praktik agama Islam. Dengan melihat realitas kebiasaan masyarakat, Tuanku Kota Tua menyatakan bahwa masyarakat Minangkabau sudah begitu jauh menyimpang dari ajaran Islam la menunjukkan bagaimana seharusnya masyarakat itu hidup sesuai dengan Alquran dan Sunah Nabi. Di antara murid dari Tuanku Kota Tua ini yang bernama Tuanku Nan Renceh. Kemudian pada tahun 1803 datanglah tiga orang ulama yang baru saja pulang haji dari tanah suci Mekah, yakni: Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piabang. Mereka melanjutkan gerakan pembaruan atau pemurnian pelaksanaan ajaran Islam seperti yang pernah dilakukan oleh Tuanku Kota Tua. Orang-orang yang melakukan gerakan pemurnian ajaran Islam di Minangkabau itu sering dikenal dengan kaum Padri.


Mengenai sebutan Padri ini sesuai dengan sebutan orang Padir di Aceh. Padit itu tempat persinggahan para jamaah haji. Orang Belanda menyebutnya dengan Padri yang dapat dikaitkan dengan kata padre dari bahasa Portugis untuk menunjuk orang-orang Islam yang berpakaian putih Sementara kaum Adat di Sumatera Barat memakai pakaian hitam.


Dalam melaksanakan pemumian praktik ajaran Islam, kaum Padri menentang praktik berbagai adat dan kebiasaan kaum Adat yang memang dilarang dalam ajaran Islam seperti berjudi, menyabung ayam, dan minum-minuman keras. Kaum Adat yang mendapat dukungan dari beberapa pejabat penting kerajaan menolak gerakan kaum Padri. Terjadilah pertentangan antara kedua belah pihak. Timbullah bentrokan antara keduanya.


Pada tahun 1821 pemerintah Hindia Belanda mengangkat James Du Puy sebagai residen di Minangkabau. Pada tanggal 10 Februari 1821, Du Puy mengadakan perjanjian persahabatan dengan tokoh Adat, Tuanku Suruaso dan 14 Penghulu Minangkabau. Berdasarkan perjanjian ini maka beberapa daerah kemudian diduduki oleh Belanda. Pada tanggal 18 Februari 1821 Belanda yang telah diberi kemudahan oleh kaum Adat berhasil menduduki Simawang. Di daerah ini telah ditempatkan dua meriam dan 100 orang serdadu Belanda. Tindakan Belanda ini ditentang keras oleh kaum Padri pada tahun 1821 itu meletuslah Perang Padri.


a) Fase Pertama (1821-1825)


Pada fase pertama, kaum Padri menyerang pos-pos dan pencegatan terhadap patroli-patroli Belanda. Bulan September 1821 pos-pos Simawang menjadi sasaran serbuan kaum Padri. Begitu pula dengan pos-pos lain seperti Sol Air, dan Sipinang. Kemudian Tuanku Pasaman menggerakkan sekitar 20.000 sampai 25.000 pasukan untuk mengadakan serangan di sekitar hutan di sebelah timur gunung Pasukan Padri menggunakan senjata senjata tradisional, seperti tombak dan parang Sedangkan Belanda dengan kekuatan 200 orang serdadu Eropa ditambah sekitar 10.000 pasukan orang pribumi termasuk juga kaum Adat Belanda menggunakan senjata-senjata lebih modern seperti meriam dan senjata api lainnya. Pertempuran ini memakan banyak korban. Di pihak Tuanku Pasaman kehilangan 350 orang prajurit, termasuk putra Tuanku Pasaman. Begitu juga Belanda tidak sedikit kehilangan pasukannya. Tuanku Pasaman dengan sisa pasukannya kemudian mengundurkan diri ke Lintau. Sementara itu, pasukan Belanda setelah berhasil menguasai seluruh lembah Tanah Datar, kemudian mendirikan benteng di Batusangkar yang kelak terkenal dengan sebutan Fort Van der Capellen.


Perlawanan kaum Padri muncul di berbagai tempat. Tuanku Pasaman memusatkan perjuangannya di Lintau dan Tuanku Nan Renceh memimpin pasukannya di sekitar Baso. Pasukan Tuanku Nan Renceh harus menghadapi pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Goffinet. Periode tahun 1821 - 1825, serangan-serangan kaum Padri memang meluas di seluruh tanah Minangkabau. Bulan September 1822 kaum Padri berhasil mengusir Belanda dari Sungai Puar, Guguk Sigandang, dan Tajong Alam. Menyusul kemudian di Bonio kaum Padri harus menghadapi menghadapi pasukan PH. Marinus Pada tahun 1823 pasukan Padri berhasil mengalahkan tentara Belanda di Kapau. Kesatuan kaum Padri yang terkenal berpusat di Bonjol. Pemimpin mereka adalah Peto Syarif. Peto Syarif inilah yang dalam sejarah Perang Padri dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol, la sangat gigih memimpin kaum Padri untuk melawan kekejaman dan keserakahan Belanda di tanah Minangkabau.


Belanda merasa kewalahan dalam melawan kaum Padn, sehingga mengambil strategi damai, Oleh karena itu, pada tanggal 26 Januari 1824 tercapailah perundingan damai antara Belanda dengan kaum Padri di wilayah Alahan Panjang, Perundingan ini dikenal dengan Perjanjian Masang. Tuanku Imam Bonjol tidak keberatan dengan adanya perjanjian damai tersebut. Akan tetapi, Belanda justru memanfaatkan perdamaian tersebut untuk menduduki daerah-daerah lain. Kemudian Belanda juga memaksa Tuanku Mensiangan dari Kota Lawas untuk berunding, tetapi ditolak Tuanku Mensiangan justru melakukan perlawanan. Tetapi Belanda lebih kuat bahkan pusat pertahanannya kemudian dibakar dan Tuanku Mensiangan ditangkap Tindakan Belanda itu telah menimbulkan amarah kaum Padri Alahan Panjang dan menyatakan pembatalan kesepakatan dalam Perjanjian Masang Tuanku Imam Bonjol menggelorakan kembali semangat untuk melawan Belanda. Dengan demikian, perlawanan kaum Padri masih terus berlangsung di berbagai tempat.


b) Fase Kedua (1825-1830)


Coba ingat-ingat angka tahun 1825-1830 itu. Kira-kira terkait dengan peristiwa apa pada angka tahun tersebut? Peristiwa itu jelas di luar Sumatera Barat. Tahun itu merupakan tahun yang sangat penting, sehingga bagi Belanda digunakan sebagai bagian strategi dalam menghadapi perlawanan kaum Padri di Sumatera Barat. Bagi Belanda tahun itu digunakan untuk sedikit mengendorkan ofensifnya dalam Perang Padri. Upaya damai diusahakan sekuat tenaga. Oleh karena itu, Kolonel De Stuers yang merupakan penguasa sipil dan militer di Sumatera Barat berusaha mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh kaum Padri untuk menghentikan perang dan sebaliknya perlu mengadakan perjanjian damai. Kaum Padri tidak begitu menghiraukan ajakan damai dan Belanda, karena Belanda sudah biasa bersikap licik, Belanda kemudian minta bantuan kepada seorang saudagar keturunan Arab yang bernama Sulaiman Aljufri untuk mendekati dan membujuk para pemuka kaum Padri agar dapat diajak berdamai. Sulaiman Aljufri menemui Tuanku Imam Bonjol agar bersedia berdamai dengan Belanda. Tuanku Imam Bonjol menolak. Kemudian menemui Tuanku Lintau ternyata merespon ajakan damai itu. Hal ini juga didukung Tuanku Nan Renceh. Itulah sebabnya pada tanggal 15 November 1825 ditandatangani Perjanjian Padang Isi Perjanjian Padang itu antara lain sebagai berikut:


1) Belanda mengakui kekuasaan pemimpin Padri di Batusangkar, Saruaso, Padang Guguk Sigandang, Agam, Bukittinggi dan menjamin pelaksanaan sistem agama di daerahnya.

2) Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang.

3) Kedua pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang sedang melakukan perjalanan.

4) Secara bertahap Belanda akan melarang praktik adu ayam.


c) Fase ketiga (1830-1837/1838)


Nah, tentu kamu sudah menemukan jawaban peristiwa tahun 1825-1830 di Jawa, Peristiwa itu adalah Perang Diponegoro. Setelah Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, semua kekuatan Belanda dikonsentrasikan ke Sumatera Barat untuk menghadapi perlawanan kaum Padri. Dimulailah Perang Padri fase ketiga


Pada pertempuran fase ketiga ini kaum Padri mulai mendapatkan simpati dari kaum Adat. Dengan demikian, kekuatan para pejuang di Sumatera Barat meningkat. Orang-orang Padri yang mendapatkan dukungan kaum Adat itu bergerak ke pos-pos tentara Belanda. Kaum Padri dari Bukit Kamang berhasil memutuskan sarana komunikasi antara benteng Belanda di Tanjung Alam dan Bukittinggi. Tindakan kaum Padri itu dijadikan alasan Belanda untuk menyerang Koto Tuo di Ampek Angkek yang dipimpin Gillavary, Belanda juga membangun benteng pertahanan dari Ampang Gadang sampai ke Biaro. Batang Gadis, sebuah nagari yang memiliki posisi sangat strategis terletak antara Tanjung Alam dan Batu Sangkar juga diduduki. Pada tahun 1831 Gillavary digantikan oleh Jacob Elout. Elout ini telah mendapatkan pesan dari Gubernur Jenderal Van den Bosch agar melaksanakan serangan besar-besaran terhadap kaum Padri.


Elout segera mengerahkan pasukannya untuk menguasai beberapa nagari, seperti Manggung dan Naras. Termasuk daerah Batipuh. Setelah menguasai Batipuh, serangan Belanda ditujukan ke Benteng Marapalam. Benteng ini merupakan kunci untuk dapat menguasai Lintau. Karena bantuan dua orang Padri yang berkhianat dengan menunjukkan jalan menuju benteng kepada Belanda, maka pada Agustus 1831 Belanda dapat menguasai Benteng Marapalam tersebut. Dengan jatuhnya benteng ini maka beberapa nagari di sekitarnya ikut menyerah.


Seiring dengan datangnya bantuan pasukan dari Jawa pada tahun 1832 maka Belanda semakin ofensif terhadap kekuatan kaum Padri di berbagai daerah. Pasukan yang datang dari Jawa itu antara lain pasukan legium Sentot All Basah Prawirodirjo dengan 300 prajurit bersenjata. Tahun 1833 kekuatan Belanda sudah begitu besar. Dengan kekuatan yang berlipat ganda Belanda melakukan penyerangan terhadap pos-pos pertahanan kaum Padri, Di Banuhampu, Kamang, Guguk Sigandang, Tanjung Alam, Sungai Puar, Candung dan beberapa nagari di Agam.


Dalam atan sejarah kolonial penyerangan di berbagai tempat itu, penyerangan terhadap Guguk Sigandang merupakan catatan hitam karena disertai dengan penyembelihan dan penyincangan terhadap tokoh-tokoh dan pasukan kaum Padri. Bahkan terhadap mereka yang dicurigai sebagai penduke Padri. Pada waktu penyerbuan Kamang, pasukan Belanda dapat mendapat perlawanan sengit, bahkan 100 orang pasukan Belanda termasuk perwira terbunuh. Baru hari berikutnya dengan mengerahkan kekuatannya, Belanda dapat menguasal Kamang. Dalam serangkaian pertempuran itu banyak kaum Padri telah menjadi korban, termasuk tokoh Tuanku Nan Cerdik dapat ditangkap.


Di samping strategi militer, setelah Van den Bosch berkunjung ke Sumatera Barat, diterapkan strategi winning the heart kepada masyarakat. Pajak pasar dan berbagai jenis pajak mulai dihapuskan Penghulu yang kehilangan penghasilan akibat penghapusan pajak diberi gaji 25-30 gulden. Para kuli yang bekerja untuk pemerintah Belanda juga diberi gaji 50 sen sehari.


Komandan militer untuk wilayah pesisir barat Sumatera Cornelis Pieter Jacob Elout digantikan oleh E. Francis. Selanjutnya Belanda tidak akan mencampuri urusan pemerintahan tradisional di Minangkabau. Sebagai upaya gencatan senjata pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Plakat Panjang. Plakat Panjang adalah pernyataan atau janji khidmat yang isinya tidak akan ada lagi peperangan antara Belanda dan kaum Padri. Setelah pengumuman Plakat Panjang ini kemudian Belanda mulai menawarkan perdamaian kepada para pemimpin Padri. Dengan kebijakan baru itu beberapa tokoh Padri dikontak oleh Belanda dalam rangka mencapai perdamaian. Beberapa tokoh memenuhi ajakan Belanda untuk berdamai.


Sementara para pejuang yang begitu mencintai kemerdekaan bumi Minangkabau terus melanjutkan perlawanan. Setelah kekuatan pasukan Tuanku Nan Cerdik dapat dihancurkan, pertahanan terakhir perjuangan kaum Padri berada di tangan Tuanku Imam Bonjol. Pada tahun 1834 Belanda dapat memusatkan kekuatannya untuk menyerang pasukan Imam Bonjol di Bonjol. Jalan-jalan yang menghubungkan Bonjol dengan daerah pantai Sudah diblokade oleh tentara Belanda. Pada tanggal 16 Juni 1835 benteng Bonjol dihujani meriam oleh serdadu Belanda. Pada bulan Agustus 1835 benteng di perbukitan dekat Bonjol jatuh ke tangan Belanda.


Belanda juga mencoba mendekati Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai. Imam Bonjol mau berdamai, tetapi dengan beberapa persyaratan antara lain jika tercapai perdamaian, Imam Bonjol minta agar rakyat Bonjol dibebaskan dari bentuk kerja paksa dan nagari itu tidak diduduki Belanda Namun, Belanda tidak memberi jawaban Belanda Justru semakin ketat mengepung pertahanan di Bonjol. Pengepungan ini dipimpin oleh Residen Padang Emanuel Francis. Sampai tahun 1836 benteng Bonjol tetap dapat dipertahankan oleh pasukan Padri. Akan tetapi, satu per satu pemimpin Padri dapat ditangkap. Hal ini jelas dapat memperlemah pertahanan pasukan Padri. Namun, di bawah komando Imam Bonjol mereka terus berjuang untuk mempertahankan setiap jengkal tanah Minangkabau. Pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol berhasil dikepung dari empat penjuru dan berhasil dilumpuhkan Imam Bonjol dan beberapa pejuang lainnya dapat meloloskan diri. Francis kembali menyerukan Imam Bonjol untuk berunding.


Demi menjamin keselamatan warganya, pada tanggal 28 Oktober 1837, Imam Bonjol menerima tawaran damai dari Residen Francis Ternyata ajakan berunding itu hanya tipu muslihat, karena pada saat datang di tempat perundingan, Imam Bonjol langsung ditangkap. Beberapa pengikutnya memang ada yang berhasil meloloskan diri dan melanjutkan perang gerilya di hutan-hutan Minangkabau. Imam Bonjol kemudian dibawa ke Batavia.


Akhirnya, Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Pada tanggal 19 Januari 1839 ia dipindahkan ke Ambon dan tahun 1841 dipindahkan lagi ke Manado hingga wafatnya pada tanggal 6 November 1864.









Post a Comment

0 Comments