PK Sejarah Indonesia XI - Semester 1 - Perang Melawan Kolonialisme dan Imperialisme - Perang Melawan Hegemoni dan Keserakahan Kongsi Dagang - Bagian 1

PK Sejarah Indonesia XI - Semester 1 - Perang Melawan Kolonialisme dan Imperialisme - Perang Melawan Hegemoni dan Keserakahan Kongsi Dagang - Bagian 1

Sejarah Indonesia SMA/MA

Kelas XI Semester I





BAB 2
Perang Melawan Kolonialisme dan Imperialisme


Pendalam Materi


A. Perang Melawan Hegemoni dan Keserakahan Kongsi Dagang


Ilustrasi atau gambar di atas menunjukkan adanya sebuah perlawanan bangsa Indonesia terhadap kezaliman kaum kolonialis dan imperialis, penjajahan bangsa Eropa di Indonesia Gambar di atas melukiskan kapal-kapal Belanda yang menuju Indonesia. Kemudian gambar ke-2 menunjukkan ilustrasi tentang salah satu situasi perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC di Banten Gambar ketiga gambar tokoh Pangeran Nuku dari Tidore untuk melawan kekejaman kompeni Belanda. Sungguh heroik perlawanan rakyat Kepulauan Maluku dan sekitarnya di bawah pimpinan Pangeran Nuku. Dari pulau yang satu ke pulau yang lain Nuku berhasil menggerakkan berbagat lapisan kekuatan baik dari bangsawan maupun rakyat untuk melawan kezaliman Belanda Politik devide et impera pun mulai diterapkan oleh Belanda, tetapi Nuku tidak terpengaruh tetap teguh dan satu niat untuk melawan penjajah. Dengan dukungan para penguasa dari Papua dan Halmahera, bahkan juga Inggris, pasukan Nuku semakin berjaya, Belanda harus mengakui keunggulan Sultan Nuku. Di masa Pangeran Nuku inilah Tidore memperoleh kembali kemerdekaannya dan terus bertahan sampai Sultan Nuku meninggal dunia.


Uralan di atas menunjukkan salah satu perlawanan terhadap keserakahan dan kekejaman kekuatan kongsi dagang asing yang melakukan monopoli dan menjajah bumi Nusantara ini. Kekuatan penjajahan itu telah merendahkan martabat bangsa dan membuat penderitaan rakyat, sehingga perlawanan itu terjadi di berbagai daerah. Berikut ini akan kita pelajari tentang berbagai perlawanan untuk melawan keserakahan VOC.



1. Aceh Versus Portugis dan VOC


Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, justru membawa hikmah bagi Aceh. Banyak para pedagang Islam yang mengalihkan kegiatan perdagangannya dari Malaka ke Aceh Dengan demikian, perdagangan di Aceh semakin ramai. Hal ini telah mendorong Aceh berkembang menjadi bandar dan pusat perdagangan. Kerajaan Aceh muncul sebagai kekuatan baru, yang berhasil menguasai daerah perdagangan seperti di pantai timur Sumatera sebelah utara. Bahkan Aceh kemudian mampu mengendalikan pusat-pusat perdagangan di pantai barat Sumatera, seperti di Barus, Tiku, dan Pariaman. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat al-Kahar (1537-1568) terkenal sebagai tokoh yang meng-aceh-kan kawasan pantai barat Sumatera


Tampilnya Aceh sebagai kekuatan ekonomi dan politik di kawasan pantai Sumatera Barat dan pantai timur Sumatera, sangat disegani oleh pedagang pedagang asing, Pedagang-pedagang asing seperti dari Perancis, Inggris, Belanda kalau ingin berdagang di wilayah pantai barat Sumatera dan tempat tempat lain yang menjadi daerah kekuasaan Aceh harus minta izin kepada Aceh


Perkembangan Aceh yang begitu pesat ini dipandang oleh Portugis sebagai ancaman. Oleh karena itu, Portugis berupaya untuk menghancurkan Aceh Pada tahun 1523 Portugis melancarkan serangan ke Aceh. Kembali Portugis tahun berikutnya melancarkan serangan ke Aceh. Beberapa serangan Portugis ini mengalami kegagalan Portugis terus mencari cara untuk melemahkan posisi Aceh sebagai pusat perdagangan. Kapal-kapal Portugis selalu mengganggu kapal-kapal dagang Aceh dimanapun berada. Tindakan Portugis ini tidak dapat dibiarkan Aceh yang ingin berdaulat dan tetap dapat mengendalikan perdagangan di beberapa pelabuhan penting di Sumatera, merencanakan untuk melakukan perlawanan. Sebagai persiapan Aceh melakukan langkah-langkah antara lain:


1) melengkapi kapal-kapal dagang Aceh dengan persenjataan, meriam dan prajurit;

2) mendatangkan bantuan persenjataan, sejumlah tentara dan beberapa ahli dari Turki pada tahun 1567; dan

3) mendatangkan bantuan persenjataan dari Kalikut dan Jepara.


Setelah berbagai bantuan berdatangan, Aceh segera melancarkan serangan terhadap Portugis di Malaka Portugis harus bertahan mati-matian di Benteng Formosa, Portugis harus mengerahkan semua kekuatannya sehingga serangan Aceh ini dapat digagalkan. Sebagai tindakan balasan pada tahun 1569 Portugis balik menyerang Aceh, tetapi serangan Portugis di Aceh ini juga dapat digagalkan oleh pasukan Aceh


Sementara itu, para pedagang Belanda juga ingin mendapatkan keuntungan dengan berdagang di pantai barat Sumatera, bahkan kalau perlu dapat melakukan monopoli. Oleh karena itu, VOC harus bersaing dengan Portugis dan harus mendapat izin dari Aceh Padahal Aceh dikenal anti terhadap dorrunasi dan para pedagang asing. Terkait dengan ini para pedagang Belanda melalui Pangeran Maurits pernah berkirim surat kepada Raja Aceh, Alauddin tertanggal 23 Agustus 1601. Dalam surat dipenuhi dengan kata-kata sanjungan dan puji-pujian kepada Sultan Alauddin dan rakyat Aceh Dalam surat itu juga dicantumkan kata-kata yang menjelek-jelekkan Portugis, dan juga dicantumkan tawaran bantuan untuk mengusir orang orang Portugis Surat itu kemudian ditutup dengan kalimat: Mencium tangan Yang Mulia, dari hamba, Maurits de Nassau" Pada waktu utusan Pangeran Maurits itu menyerahkan surat tersebut juga disertai dengan sejumlah hadiah dan hantaran (Uka Tjandrasasmita, "Persaingan di Rantai Barat Sumatera dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012). Dengan surat ini ternyata Sultan Aceh yang kebetulan sedang bermusuhan dengan Portugis, dapat menerima kehadiran para pedagang Belanda. Bahkan pada tahun 1607 Aceh memberikan izin kepada VOC untuk membuka loji di Tiku di pantai Barat Sumatera.


Apapun yang terjadi, rakyat Aceh dan para pemimpinnya tetap memiliki pendirian dan semangat untuk terus berdaulat dan menentang dominasi orang asing. Oleh karena itu, jiwa dan semangat juang untuk mengusir Portugis dari Malaka tidak pernah padam. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639), semangat juang mempertahankan tanah air dan mengusir penjajaha asing semakin meningkat. Bahkan pada masa pemerintahan Iskandar Muda ini mulai memutuskan hubungan dan menolak kehadiran VOC Iskandar Muda adalah raja yang gagah berani dan bercita cita untuk mengenyahkan penjajahan asing, termasuk mengusir Portugis dari Malaka. Iskandar Muda juga menentang kesewenang-wenangan VOC yang sudah berkuasa di Batavia


Dalam rangka melawan Portugis di Malaka, Sultan Iskandar Muda berusaha untuk melipatgandakan kekuatan pasukannya. Angkatan lautnya diperkuat dengan kapal-kapal besar yang dapat mengangkut 600-800 prajurit. Pasukan kavaleri dilengkapi dengan kuda-kuda dari Persia bahkan, Aceh juga menyiapkan pasukan gajah dan milisi infanteri. Sementara itu untuk mengamankan wilayahnya yang semakin luas meliputi Sumatera Timur dan Sumatera Barat, ditempatkan para pengawas di jalur-jalur perdagangan Para pengawas itu ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan penting seperti di Panaman Para pengawas itu umumnya terdiri para panglima perang,


Setelah mempersiapkan pasukannya, pada tahun 1629 Iskandar Muda melancarkan serangan ke Malaka. Menghadapi serangan kali ini Portugis sempat kewalahan Portugis harus mengerahkan semua kekuatan tentara dan persenjataan untuk menghadapi pasukan Iskandar Muda. Namun, serangan Aceh kali ini juga belum berhasil mengusir Portugis dari Malaka. Hubungan Aceh dan Portugis semakin memburuk Bentrokan-bentrokan antara kedua belah pihak masih sering terjadi, tetapi Portugis tetap tidak berhasil menguasai Aceh dan begitu juga Aceh tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka. Portugis dapat diusir dari Malaka oleh VOC pada tahun 1641, setelah VOC bersekutu dengan Kesultanan Johor.



2. Maluku Angkat Senjata


Portugis berhasil memasuki Kepulauan Maluku pada tahun 1521. Mereka memusatkan aktivitasnya di Ternate. Tidak lama berselang orang orang Spanyol juga memasuki Kepulauan Maluku dengan memusatkan kedudukannya di Tidore. Terjadilah persaingan antara kedua belah pihak.


Persaingan itu semakin tajam setelah Portugis berhasil menjalin persekutuan dengan Ternate dan Spanyol bersahabat dengan Tidore. Semua ini tidak terlepas dari ambisi bangsa-bangsa Barat untuk menguasai perdagangan dan menanamkan kekuasaannya di Maluku. Mereka sering memanfaatkan kelemahan kaum pribumi termasuk memanfaatkan intrik-intrik yang membuat perpecahan di lingkungan istana.


Pada tahun 1529 terjadi perang antara Tidore melawan Portugis. Penyebab perang ini karena kapal-kapal Portugis menembaki jung-jung dari Banda yang akan membeli cengkih ke Tidore. Tentu saja Tidore tidak dapat menerima tindakan armada Portugis. Rakyat Tidore angkat senjata. Terjadilah perang antara Tidore melawan Portugis. Dalam perang ini Portugis mendapat dukungan dari Ternate dan Bacan. Akhirnya Portugis mendapat kemenangan Dengan kemenangan ini Portugis menjadi semakin sombong dan sering berlaku kasar terhadap penduduk Maluku Upaya monopoli terus dilakukan Maka, wajar jika sering terjadi letupan-letupan perlawanan rakyat.


Sementara itu konflik dan persaingan antara Portugis dan Spanyol di Maluku ini harus segera diakhiri. Dengan mengingat kesepakatan pada Perjanjian Tordesillas, maka diadakan perjanjian damai antara Portugis dan Spanyol. Perjanjian damai dilaksanakan di Saragosa pada tahun 1529. Berdasarkan Perjanjian Saragosa ini disepakati bahwa Portugis tetap berkuasa di Maluku, sementara Spanyol berkuasa di wilayah Filipina. Dengan demikian setelah ditandatangani Perjanjian Saragosa, kedudukan Portugis di Maluku semakin kuat. Portugis semakin berkuasa untuk memaksakan kehendaknya melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Kedudukan Portugis juga semakin mengancam kedaulatan kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku


Melihat kesewenang-wenangan Portugis itu, pada tahun 1565 muncul perlawanan rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Khaerun/Hairun Sultan Khaerun menyerukan seluruh rakyat dari Irian/Papua sampai Jawa untuk angkat senjata melawan kezaliman kolonial Portugis. Portugis mulai kewalahan dan menawarkan perundingan kepada Sultan Khaerun. Dengan pertimbangan kemanusiaan, Sultan Khaerun menerima ajakan Portugis. Perundingan dilaksanakan pada tahun 1570 bertempat di Benteng Sao Paolo Ternyata semua ini hanyalah tipu muslihat Portugis. Pada saat perundingan sedang berlangsung, Sultan Khaerun ditangkap dan dibunuh. Tindakan yang dilakukan Portugis kala itu sungguh kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Demi keuntungan ekonomi Portugis telah merusak sendi sendi kehidupan kemanusiaan dan keberagamaan.


Setelah Sultan Khaerun dibunuh, perlawanan dilanjutkan di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putera Sultan Khaerun). Melihat tindakan Portugis yang tidak mengenal nilai-nilai kemanusiaan, semangat rakyat Maluku untuk melawannya semakin berkobar. Seluruh rakyat Maluku berhasil dipersatukan termasuk Ternate dan Tidore untuk melancarkan serangan besar-besaran terhadap Portugis. Akhirnya Portugis dapat didesak dan pada tahun 1575 berhasil diusir dari Ternate. Orang-orang Portugis kemudian melarikan diri dan menetap di Ambon. Pada tahun 1605 Portugis dapat diusir oleh VOC dan Ambon dan kemudian menetap di Timor Timur.


Serangkaian perlawanan rakyat terus terjadi terhadap Portugis maupun VOC yang melakukan tindakan kejam dan sewenang-wenang kepada rakyat. Misalnya pada periode tahun 1635-1646 terjadi serangan sporadis dari rakyat Hitu yang dipimpin oleh Kakiali dan Telukabesi. Perlawanan rakyat ini juga meluas ke Ambon. Tahun 1650 perlawanan rakyat juga terjadi di Ternate yang dipimpin oleh Kecili Said. Sementara perlawanan secara gerilya terjadi seperti di Jailolo. Namun berbagai serangan itu selalu dapat dipatahkan oleh kekuatan VOC yang memiliki organisasi serta peralatan senjata lebih lengkap. Rakyat terus mengalami penderitaan akibat kebijakan monopoli rempah-rempah yang disertai dengan Pelayaran Hongi.


Pada tahun 1680, VOC memaksakan sebuah perjanjian baru dengan penguasa Tidore Kerajaan Tidore yang semula sebagai sekutu turun statusnya menjadi vassal VOC. Sebagai penguasa yang baru diangkatlah Putra Alam sebagai Sultan Tidore (menurut tradisi kerajaan Tidore yang berhak sebagai sultan semestinya adalah Pangeran Nuku). Penempatan Tidore sebagai vasta atau daerah kekuasaan VOC telah menimbulkan protes keras dari Pangeran Nuku Akhirnya Nuku memimpin perlawanan rakyat Timbullah perang heba antara rakyat Maluku di bawah pimpinan Pangeran Nuku melawan kekuatan kompeni Belanda (tentara VOC). Pangeran Nuku mendapat dukungan rakyat Papua di bawah pimpinan Raja Ampat dan juga orang-orang Gamrange dari Halmahera. Oleh para pengikutnya, Pangeran Nuku diangkat sebagai sultan dengan gelar Tuan Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah Dengan posisinya sebagai sultan ini, maka perlawanan terhadap VOC semakin diperkuat Bahkan Sultan Nuku juga berhasil meyakinkan Sultan Aharal dan Pangeran Ibrahim dari Ternate untuk bersama-sama melawan VOC. Pangeran Nuku juga mendapat dukungan dari para pedagang Seram Timur. Kapitan laut Pangeran Nuku sebagian besar berasal dari para pemuka pedagang Seram Timur. Para pedagang Seram Timur ini memiliki kemandirian dan militansi yang tinggi. Dalam perang ini Sultan Nuku juga mendapat dukungan dari armada Inggris (EIC). Belanda kewalahan dan tidak mampu membendung semangat pasukan Sultan Nuku untuk lepas dari dominasi Belanda. Akhirnya Sultan Nuku berhasil mengembangkan pemerintahan yang berdaulat melepaskan diri dari dominasi Belanda di Tidore sampai akhir hayatnya (tahun 1805).



3. Sultan Agung Versus J.P. Coen


Sultan Agung adalah raja yang paling terkenal dari Kerajaan Mataram. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Mataram mencapai zaman keemasan. Cita-cita Sultan Agung antara lain: (1) mempersatukan seluruh tanah Jawa, dan (2) mengusir kekuasaan asing dari bumi Nusantara. Terkait dengan cita-citanya ini maka Sultan Agung sangat menentang keberadaan kekuatan VOC di Jawa. Apalagi tindakan VOC yang zerus memaksakan kehendak untuk melakukan monopoli perdagangan membuat para pedagang mengalami Priburni kemunduran. Kebijakan monopoli itu juga dapat membawa penderitaan rakyat. Oleh karena itu, Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia. Ada beberapa alasan mengapa Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia, yakni


1) tindakan monopoli yang dilakukan VOC;

2) VOC sering menghalang-halangi kapal-kapal dagang Mataram yang akan berdagang ke Malaka;

3) VOC menolak untuk mengakui kedaulatan Mataram, dan

4) keberadaan VOC di Batavia telah memberikan ancaman serius bagi masa depan Pulau Jawa.


Pada tahun 1628 Sultan Agung mempersiapkan pasukan Mataram dengan segenap persenjataan dan perbekalannya untuk menyerang VOC di Batavia, Pada waktu itu yang menjadi Gubernur Jenderal VOC adalah J.P. Coen Pada tanggal 22 Agustus 1628, pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa menyerang Batavia. Pasukan Mataram berusaha membangun pos pos pertahanan, tetapi kompeni VOC terus berusaha menghalang-halangi. Akibatnya pertempuran antara kedua pihak tidak dapat dihindarkan. Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan itu pasukan Mataram yang lain berdatangan seperti pasukan di bawah Tumenggung Sura Agul-Agul yang dibantu oleh Kiai Dipati Mandurareja dan Upa Santa Datang pula laskar orang-orang Sunda di bawah pimpinan Dipati Ukur. Pasukan Mataram berusaha mengepung Batavia dari berbagai tempat Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Mataram melawan tentara VOC di berbagai tempat. Tetapi kekuatan tentara VOC dengan senjatanya jauh lebih unggul, sehingga dapat memukul mundur semua lini kekuatan pasukan Mataram. Tumenggung Baureksa gugur dalam pertempuran itu. Dengan demikian, serangan tentara Sultan Agung pada tahun 1628 itu belum berhasil.


Sultan Agung tidak lantas berhenti dengan kekalahan yang baru saja dialami pasukannya. la segera mempersiapkan serangan yang kedua. Belajar dari kekalahan terdahulu Sultan Agung meningkatkan jumlah kapal dan senjata, la juga membangun lumbung-lumbung beras untuk persediaan bahan makanan seperti di Tegal dan Cirebon. Tahun 1629 pasukan Mataram diberangkatkan menuju Batavia. Sebagai pimpinan pasukan Mataram dipercayakan kepada Tumenggung Singaranu, Kial Dipati Juminah, dan Dipati Purbaya. Ternyata informasi persiapan pasukan Mataram diketahui oleh VOC. Dengan segera VOC mengirim kapal-kapal perang untuk menghancurkan lumbung-lumbung yang dipersiapkan pasukan Mataram. DI Tegal tentara VOC berhasil menghancurkan 200 kapal Mataram, 400 rumah penduduk dan sebuah lumbung beras. Pasukan Mataram pantang mundur, dengan kekuatan pasukan yang ada terus berusaha mengepung Batavia Pasukan Mataram berhasil mengepung dan menghancurkan Benteng Hollandia. Berikutnya pasukan Mataram mengepung Benteng Bommel, tetapi gagal menghancurkan benteng tersebut. Pada saat pengepungan Benteng Bommel, terpetik berita bahwa J.P. Coen meninggal. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 September 1629. Dengan semangat juang yang tinggi pasukan Mataram terus melakukan penyerangan. Dalam situasi yang kritis ini pasukan VOC semakin marah dan meningkatkan kekuatannya untuk mengusir pasukan Mataram. Dengan mengandalkan persenjataan yang lebih baik dan lengkap, akhirnya dapat menghentikan serangan serangan pasukan Mataram. Pasukan Mataram semakin melemah dan akhirnya ditarik mundur kembali ke Mataram. Dengan demikian, serangan Sultan Agung yang kedua ini juga mengalami kegagalan


Kegagalan pasukan Mataram menyerang Batavia, membuat VOC semakin berambisi untuk terus memaksakan monopoli dan memperluas pengaruhnya di daerah-daerah lain. Namun, di balik itu VOC selalu khawatir dengan kekuatan tentara Mataram. Tentara VOC selalu berjaga-jaga untuk mengawasi gerak-gerik pasukan Mataram. Sebagai contoh pada waktu pasukan Sultan Agung dikirim ke Palembang untuk membantu Raja Palembang dalam melawan VOC, langsung diserang oleh tentara VOC di tengah perjalanan


Perlawanan pasukan Sultan Agung terhadap VOC mengalami kegagalan. Namun, semangat dan cita-cita untuk melawan dominasi asing terus tertanam pada jiwa Sultan Agung dan para pengikutnya. Secara militer Mataram memang tidak berhasil memaksa VOC untuk menjadi bawahan Mataram. Sementara itu, tentara VOC sendiri sebenarnya merasa khawatir dan segan terhadap kekuatan militer Mataram. Sultan Agung yang cerdas itu kemudian menggunakan kemampuan diplomasi. Melalui kemampuan diplomasinya Sultan Agung berhasil memaksa VOC untuk mengakui eksistensi Mataram dan Sultan Agung sebagai Yang Dipertuan Agung. Hal ini buktikan dengan pengiriman upeti secara periodik dari VOC ke Mataram. Sementara VOC mendapat imbalan diizinkan untuk melakukan perdagangan di pantai utara Jawa. Dalam perdagangan ini VOC cenderung melakukan monopoli.


Sayangnya semangat dan kebesaran Sultan Agung itu tidak diwarisi oleh raja raja pengganti Sultan Agung. Setelah Sultan Agung meninggal tahun 1645, Mataram menjadi semakin lemah sehingga akhirnya berhasil dikendalikan oleh VOC


Sebagai pengganti Sultan Agung adalah Sunan Amangkurat I. la memerintah pada tahun 1646 -1677. Ternyata Raja Amangkurat I merupakan raja yang lemah dan bahkan bersahabat dengan VOC Raja ini juga bersifat reaksioner dengan bersikap sewenang-wenang kepada rakyat dan kejam terhadap para ulama. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan Amangkurat itu timbul berbagai perlawanan rakyat. Salah satu perlawanan itu dipimpin oleh Trunajaya



4. Perlawanan Banten


Banten memiliki posisi yang strategis sebagai bandar perdagangan internasional. Oleh karena itu, sejak semula Belanda ingin menguasai Banten, tetapi tidak pernah berhasil. Akhirnya VOC membangun Bandar di Batavia pada tahun 1619. Terjadi persaingan antara Banten dan Batavia memperebutkan posisi sebagai bandar perdagangan Internasional. Oleh karena itu, rakyat Banten sering melakukan serangan-serangan terhadap VOC.


Pada tahun 1651, Pangeran Surya naik tahta di Kesultanan Banten la adalah cucu Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kanum, anak dari Sultan Abu al- Ma'ali Ahmad yang wafat pada 1650. Pangeran Surya bergelar Sultan Abu al Fath Abdulfatah Sultan Abu al-Fath Abdulfatah ini lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. la berusaha memulihkan posisi Banten sebagai bandar perdagangan internasional sekaligus menandingi perkembangan VOC di Batavia. Beberapa kebijakannya misalnya mengundang para pedagang Eropa lain seperti Inggris, Perancis Denmark, dan Portugis. Sultan Ageng Tirtayasa juga mengembangkan hubungan dagang dengan negara-negara Asia seperti Persia, Benggala, Siam, Tonkin, dan Cina. Perkembangan di Banten ternyata sangat tidak disenangi oleh VOC Oleh karena itu, untuk melemahkan peran Banten sebagai Bandar perdagangan, VOC sering melakukan blokade. Jung-jung Cina dan kapal kapal dagang dari Maluku dilarang oleh VOC meneruskan perjalanan menuju Banten. Sebagai balasan Sultan Ageng mengirim beberapa pasukannya untuk mengganggu kapal-kapal dagang VOC dan menimbulkan gangguan di Batavia. Dalam rangka memberi tekanan dan memperlemah kedudukan VOC, rakyat Banten juga melakukan perusakan terhadap beberapa kebun tanaman tebu milik VOC. Akibatnya hubungan antara Banten dan Batavia semakin memburuk.


Menghadapi serangan pasukan Banten, VOC terus memperkuat kota Batavia dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan seperti Benteng Noordwijk. Dengan tersedianya beberapa benteng di Batavia diharapkan VOC mampu bertahan dari berbagai serangan dari luar dan mengusir para penyerang tersebut. Sementara itu untuk kepentingan pertahanan, Sultan Ageng memerintahkan untuk membangun saluran irigasi yang membentang dari Sungai Untung Jawa sampai Pontang. Selain berfungsi untuk meningkatkan produksi pertanian, saluran irigasi dimaksudkan juga untuk memudahkan transportasi perang. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng ini memang banyak dibangun saluran irigasi. Oleh karena jasa-jasanya ini maka sultan digelari Sultan Ageng Tirtayasa (tirta artinya air).


Serangan dan gangguan terhadap VOC terus dilakukan Di tengah-tengah mengobarkan semangat anti VOC itu, pada tahun 1671 Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota Abdulnazar Abdulkahar sebagai raja pembantu yang lebih dikenal dengan nama Sultan Haji Sebagai raja pembantu Sultan Haji bertanggung jawab urusan dalam negeri, dan Sultan Ageng Tirtayasa bertanggung jawab urusan luar negeri dibantu puteranya. yang lain, yakni Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan di Banten ini tercium oleh perwakilan VOC di Banten W. Caeff. la kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji agar urusan pemerintahan di Banten tidak dipisah-pisah dan jangan sampai kekuasaan jatuh ke tangan Arya Purbaya. Karena hasutan VOC ini Sultan Haji mencurigai ayah dan saudaranya. Sultan Haji juga sangat khawatir, apabila dirinya tidak segera dinobatkan sebagai sultan, sangat mungkin jabatan sultan itu akan diberikan kepada Pangeran Arya Purbaya. Tanpa berpikir panjang Sultan Haji segera membuat persekongkolan dengan VOC untuk merebut tahta kesultanan Banten Timbullah pertentangan yang begitu tajam antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa.


Dalam persekongkolan tersebut VOC sanggup membantu Sultan Haji untuk merebut Kesultanan Banten tetapi dengan empat syarat. (1) Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VoC, (2) monopoli lada di Banten dipegang oleh VOC dan harus menyingkirkan para pedagang Persia, India, dan Cina, (3) Banten harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan (4) pasukan Banten yang menguasal daerah pantai dan pedalaman Priangan segera ditarik kembali. Isi perjanjian ini disetujui oleh Sultan Haji.


Pada tahun 1681 VOC atas nama Sultan Haji berhasil merebut Kesultanan Banten, Istana Surosowan berhasil dikuasai. Sultan Haji menjadi Sultan Banten yang berkedudukan di istana Surosowan.


Sultan Ageng Tirtayasa kemudian membangun istana yang baru berpusat di Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa berusaha merebut kembali Kesultanan Banten dari Sultan Haji yang didukung VOC. Pada tahun 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa berhasil mengepung istana Surosowan. Sultan Haji terdesak dan segera meminta bantuan tentara VOC. Datanglah bantuan tentara VOC di bawah pimpinan Francois Tack. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dapat dipukul mundur dan terdesak hingga ke Benteng Tirtayasa. Benteng Tirtayasa juga dikepung tentara VOC. Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya berhasil meloloskan diri bersama puteranya, pangeran Purbaya ke hutan Lebak. Mereka masih melancarkan serangan sekalipun dengan bergerilya.


Tentara VOC terus memburu. Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya yang kemudian bergerak ke arah Bogor. Pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap oleh VOC dengan tipu muslihat. Sultan Ageng ditawan di Batavia sampai wafatnya pada tahun 1692.


Semangat juang Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya tidak pernah padam. Ia telah mengajarkan untuk selalu menjaga kedaulatan negara dan mempertahankan tanah air dari dominasi asing. Hal ini terbukti setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, perlawanan rakyat Banten terhadap VOC terus berlangsung. Misalnya pada tahun 1750 berkobar perlawanan yang dipimpin oleh seorang ulama terkenal yakni Ki Tapa. Pada bulan November 1750 gabungan pasukan VOC dan tentara kerajaan berhasil dihancurkan oleh pasukan Ki Tapa. Ki Tapa ini antara lain juga mendapat dukungan seorang pangeran yang bekerja sama dengan Ratu Bagus. Perlawanan Ki Tapa ini semakin meluas. VOC tidak ingin dipermalukan oleh pasukan pribumi. Oleh karena itu, pada tahun 1751 VOC mengerahkan pasukan gabungan yang jumlah sangat besar mencapai 1250 personil untuk mengepung pasukan Ki Tapa dan Ratu Bagus Pasukan Ki Tapa dapat didesak oleh VOC. Namun, Ki Tapa dan ratu Bagus dapat meloloskan diri dan pergi ke hutan untuk melancarkan perang gerilya. Ki Tapa telah menjadi lambang kekuatan Banten yang tidak pernah terkalahkan.









Post a Comment

0 Comments